5. Iman dan Kepatuhan

IMAN DAN KEPATUHAN                                                                                                  oleh: Zuriatul Khairi

Konsep Iman

Kata ‘iman’ berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata fi’il madhy  ‘âmana’   mudhari’ ‘yu’minu’  dengan masdar ‘îmânan’  yang berarti ‘ al-tashdîqu muthlaqan’ (Munjid, 1975, 18), membenarkan secara mutlak.  Sedangkan dalam bentuk lain,  masdar ‘amanun’ berarti aman, bebas dari ketakutan. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta beramal shaleh, mereka akan diberi balasan oleh Allah dan bagi mereka tidak ketakutan dan kecemasan (2; 62, 5; 22).

Dalam bahasa Inggeris, kata ‘iman’ selalu disepadankan dengan kata  ‘faith’, yang dalam pengertian luas diartikan Rahner dan Vorgrimler (1990, 167) sebagai: “freely accepting what a person says because of one’s confidence in that person.” Menerima apa yang dikatakan seseorang tanpa syarat, tekanan atau keraguan.  Kepercayaan pada dasarnya memerlukan pribadi lain yang dipercayai, pribadi yang menyampaikan pesan atau perintah. Tentulah sulit untuk menerima perkataan seseorang yang dipandang berbohong. Kepercayaan agama adalah kepercayaan terhadap ajaran agama yang disampaikan para pembawa ajaran, mereka merupakan pribadi yang dipercayai.

Bagi penganut agama Islam, iman merupakan istilah yang sangat akrab dengan kehidupannya, namun demikian sulit untuk membuat operasionalisasi yang dapat diterima seluruh kalangan. Dalam sejarah umat Islam, pengertian iman telah menjadi perdebatan panjang. Nasution (2002) mengemukakan definisi iman; menurut aliran Asy’ariyah dan Maturidiah Bukhara iman adalah tashdiq (menerima sebagai benar), dan menurut Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand menyebutkan iman lebih dari sekedar tashdiq yaitu ‘amal (melaksanakan perintah). Sedangkan golongan Murji’ah mendefinisikan iman sebagai ma’rifah (mengetahui).

Meskipun berbeda-beda dalam memahami arti iman, semua golongan tersebut sepakat bahwa iman merupakan hal yang terpenting dalam ajaran Islam. Hal ini terlihat bahwa iman bagi mereka adalah lawan dari kufr (menolak). Orang yang iman disebut mukmin, sedangkan yang kufr disebut kafirIman adalah baik maka mukmin akan masuk surga, sedangkan kufr adalah sesat maka kafir akan masuk neraka. 

Meskipun pengertian yang dikemukanan golongan teolog muslim tersebut bukanlah definisi operasional, namun demikian ia dapat memberikan arah bagi suatu pemahaman konseptual. Tashdiq yang dapat dipandang sebagai unsur mutlak dari iman, namun ia tidak dapat diamati. Tidak ada jaminan bahwa orang yang mengatakan percaya bahkan bersumpah percaya adalah benar sebagai orang yang percaya. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah yang terpengaruh oleh pemikiran filsafat memasukkan unsur ‘amal sebagai bagian dari iman. Orang mukmin akan ber’amal, jika ia percaya ia akan mematuhi perintah-perintahnya. Mu’tazilah juga melihat sebaliknya iman seseorang dilihat dari ‘amalnya, yang menyebabkan golongan ini melakukan pemaksaan semua orang untuk melakukan ‘amal. Secara psikologis teori Mu’tazilah ini tentu sulit diterima, karena mungkin saja orang yang menunjukkan kepatuhan sebenarnya ia tidak percaya terhadap apa yang ia lakukan. Dan kepercayaan mempunyai hubungan linier dengan kepatuhan adalah suatu yang logis.

Pelikan (1993) menjelaskan pengertian iman (faith): faith as faithfulness, obedience, trust, dependence, experience and credo. Keyakinan (faithfulness) merupakan dasar bagi kepercayaan, yang merupakan dasar bagi kedisiplinan melaksanakan ajaran atau perintah. Iman lebih dari sekedar loyalitas, ia merupakan ketaatan (obedience) menerima kehendak dan hukum yang Maha Suci. Iman adalah mempercayai sepenuh hati kebenaran (trust) Tuhan, segala harapan baik dan buruk hanya terfokus kepadanya. Dengan demikian, iman berarti pula tergantung (dependence) pada kehendak Tuhan. Iman juga merupakan hidayah, pengalaman yang melebihi pengalaman intelektual dan emosional.  Iman tidak terlepas pula dari mempercayai seperangkat doktrin yang benar, kepercayaan yang memiliki otoritas.

Moreno (1994) menggunakan istilah  nilai (value) untuk kepercayaan yang menunjuk adanya kebenaran mutlak, dan belief untuk kepercayaan yang berhubungan dengan perilaku manusia di bumi. Kepercayaan merupakan proses kejiwaan di mana kita menangguhkan kemampuan otak untuk menerima jawaban-jawaban yang bersifat non-rasional terhadap pertanyaan dasar mengenai kehidupan.

Kepercayaan adalah kesediaan untuk menerima suatu ajaran, mengakuinya sebagai yang benar bukan didasarkan kepada pembuktian rasional. Para teolog memang sering mengupayakan pembuktian rasional bahkan mempertahankan kepercayaan dengan bukti rasional tersebut, namun ketika rasionalitas itu dipertanyakan atau mengahadapi kebuntuan, maka kaedah-kaedah kepercayaan menyingkirkan rasionalitas.

 8003001pslcKarakteristik Iman

Iman yang merupakan penerimaan emosional, sementara rasio tunduk kepadanya, menurut Moreno (1994) kepercayaan dapat pula diamati dalam cinta. Seorang yang cinta pada sesuatu selalu tidak menggunakan rasio di atas perasaan, maka cinta menjadi suatu yang sulit untuk diungkap melalui bahasa. Alasan-alasan dapat dikemukakan, karena kecantikan, ketampanan, keramahan, kegagahan, dan sebagainya, tetapi semua alasan-alasan ini bersifat subjektif.

Di dalam Al-Quran disebutkan karakteristik orang yang beriman; sangat cinta dan tidak ragu. Orang-orang yang beriman bersangatan cintanya kepada Allah (2; 165). Oleh karena itu, iman lebih dari sikap menerima dan setuju kepada obyek yang dipercaya, tetapi lebih dalam, yaitu cinta yang kuat. Berapa kuat cinta terhadap Allah dapat diamati dari penempatan Allah dalam kedudukan cintanya terhadap yang lain. Disebutkan pula bahwa orang yang beriman apabila disebut nama Allah, bergetar hatinya, jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah kepercayaannya (8; 2).

 Iman jauh dari keraguan. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka tidak ragu dan bersungguh-sungguh di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka (49; 15). Disebutkan pula bahwa Al-Quran turun dari Tuhan alam semesta, tidak ada keraguan padanya (32; 2). Iman merupakan percaya yang sesungguhnya, tanpa ada rasa ragu.

Hubungan Iman dengan Kepatuhan

Di kalangan penganut ajaran Islam, kepercayaan sering disebut dengan iman atau aqidah, sedangkan kepatuhan disebut dengan amal yang dalam perilakunya disebut juga amal saleh, keduanya saling berhubungan. Sukardja (2005: 2) menyebutkan bahwa “akidah tidak akan ada faedahnya jika tidak diiringi perbuatan. Dalam Islam, perbuatan yang tumbuh dari akidah (iman) disebut amal saleh. Sebaliknya amal saleh tidak ada faedahnya tanpa iman.” Kepercayaan adalah kesediaan untuk menerima suatu ajaran, mengakuinya sebagai yang benar, dan mengikuti perintah ajaran tersebut dengan tindakan atau amal yang sesuai dengan ajaran kepercayaan yang dipercayai itu.

Iman tidak dapat dipisahkan dari amal sebagai implementasi dari kepercayaan itu. Moreno (1994) menyebutkan bahwa kepercayaan dapat diungkapkan melalui pemikiran dan perbuatan. Senada dengan pendapat tersebut, Ilyas (1993: 10) menyatakan bahwa “seseorang yang memiliki akidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik.

Iman merupakan dasar bagi berperilaku manusia, ia mengontrol cara berpikir, bersikap dan bertindak setiap orang. Al-Uthaimin (1985: 85) menyebutkan bahwa  “akidah merupakan dasar pokok dari agama yang akan membuahkan hasil yang tiada taranya di semua aspek kehidupan.”

Iman membuahkan amal salih. Amal  saleh secara sistematis digariskan dalam suatu sistem peraturan  yang disebut syariat (Sukardja 2005: 2). Syariat secara luas berarti keseluruhan ajaran Islam, baik akidah, ibadah dan akhlak, dalam makna yang sempit, syariat dipahami sebagai fikih atau hukum Islam, seluruhnya mengacu kepada kitab suci Al-Quran. Iman dan kepatuhan  merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan, maka perilaku manusia sangat tergantung pada imannya. Oleh karena itu,  iman berhubungan signifikan dengan kepatuhan.

Kepatuhan adalah keadaan di mana individu mengikuti perintah-perintah dari sesuatu yang dipandang memiliki otoritas secara sukarela ataupun karena terpaksa dengan tidak menunjukkan pengingkaran. Dengan demikian kepercayaan akan melahirkan kepatuhan, namun tidak dapat menyatakan bahwa kepatuhan merupakan gambaran utuh dari kepercayaan. 

Tinggalkan komentar